sejarah simanjuntak


Ketua SIPASADA (Simanjuntak Siopat Sada Ama) Pekan Baru, Raja Tartar Simanjuntak, mengaku kesal ketika seorang tokoh agama pernah bertanya padanya: “Simanjuntak dia do hamu?” Yang dimaksud apakah Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi. “Bahkan ada orang berpendidikan, bertitel S2 atau S3, membuat pernyataan bahwa tidak (akan) pernah ada hubungan persaudaraan antara Parsuratan dengan Mardaup – Sitombuk – Hutabulu,” kata Wasir Simanjuntak, Ketua SIPASADA Bonapasogit yang dilantik Januari 2011, dalam wawancara khusus dengan pemimpin redaksi Koran Tapanuli, Jarar Siahaan.
Kegelisahan Raja Tartar dan Wasir itu juga dirasakan Jhonny Simanjuntak (28 tahun), generasi muda keturunan Raja Marsundung Simanjuntak dari Desa Hutabulu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. “Saya tidak bisa menerima mengapa masih ada orangtua di kalangan marga Simanjuntak yang justru meneruskan mitos itu kepada anak-anaknya. Harus dihentikan, jangan lagi ada istilah Parhorbo Jolo dan Parhorbo Pudi. Makanya selama ini saya sering bermain ke Parsuratan, mereka itu juga saudaraku, dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa seperti kata orang-orang,” kata Jhonny, Sekretaris SIPASADA Bonapasogit, kepada Koran Tapanuli.
Entah siapa yang memulai, ada sebuah cerita terkenal mengenai marga Simanjuntak, yaitu bahwa jika keturunan Raja Parsuratan Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Jolo) bertemu dalam sebuah acara dengan keturunan Raja Mardaup Simanjuntak, atau Raja Sitombuk Simanjuntak, atau Raja Hutabulu Simanjuntak (dijuluki Parhorbo Pudi), maka konon akan terjadi hal-hal negatif. “Kalau berada dalam mobil yang sama, katanya mobil itu bisa rusak atau kecelakaan. Dang toho i,” kata Guntur Simanjuntak, mantan anggota DPRD Tobasa yang lebih dikenal sebagai pengusaha restoran mie Bahagia. Hujan lebat akan turun jika kedua pihak bertemu dalam upacara adat, tulis majalah Tempo pada 1991, dan bahkan nasi untuk pesta pun bisa tidak matang.
Tempo menulis, perselisihan sesama marga Simanjuntak ini telah berlangsung selama empat abad. Raja Marsundung, nenek moyang marga Simanjuntak, semasa hidupnya memiliki dua isteri. Yang pertama, Boru Hasibuan, meninggal saat putera tunggal mereka, Raja Parsuratan, masih kecil. Lalu Marsundung menikahi Boru Sihotang, yang melahirkan dua puteri dan tiga putera, yaitu Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu. Saat Raja Marsundung meninggal, dia mewariskan seekor kerbau. Anak-anaknya dari kedua isterinya memperebutkan kerbau itu. Akhirnya mereka sepakat membaginya: bagian depan kerbau untuk sang abang, Parsuratan, dan adik-adiknya mendapat bagian belakang. Konon kemudian Parsuratan membunuh adik perempuannya, anak dari ibu tirinya Boru Sihotang, dengan maksud untuk menguasai kerbau itu. Boru Sihotang murka dan bersumpah: “Na so jadi mardomu anakku tu anakni Boru Hasibuan.” Hikayat inilah yang diteruskan turun-temurun sampai sekarang.
“Padahal kita tidak tahu kebenarannya, namanya juga mitos. Namun akibat dari kisah tersebut, harus kami akui, masih banyak sesama marga Simanjuntak tidak bisa akur terutama dalam pesta adat. Memang dalam kegiatan agama atau sosial, kami terlihat bisa akrab, tapi mengapa dalam adat tidak. Inilah yang harus dihapus. Cerita Parhorbo Jolo-Parhorbo Pudi hanyalah mitos, bahkan bisa jadi merupakan pembohongan oleh iblis supaya marga Simanjuntak terpecah-belah,” kata Wasir Simanjuntak kepada Koran Tapanuli. Dia meminta para orangtua Simanjuntak agar mendidik anak-anak mereka untuk bisa hidup berdampingan dengan seluruh keturunan marga Simanjuntak tanpa membuat pembatas antara “kita dan mereka”, Parhorbo Jolo atau Parhorbo Pudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar